Merasakan Kehidupan Alam






Cerpen Karangan: 

Lolos moderasi pada: 5 May 2016

Sepekan sudah Eryn harus merasakan dunia baru. Ini karena tragedi yang menimpa mereka sekeluarga dua bulan lalu. Apa yang dialami mereka adalah ujian terberat buatnya. Ia merasakan duka yang amat dalam. Karena peristiwa itu merenggut orang-orang tercintanya. Ayah, Ibu dan seorang adik laki-laki harus terpisah darinya untuk selamanya. Sedangkan ia juga harus menerima kenyataan yang sangat sulit. Kedua matanya yang menjadi suluh langkah kakinya, kini tak berfungsi sebagaimana biasanya. Akibat tabrakan itu, ia mengalami benturan sadis yang melumpuhkan penglihatannya. Ia tidak bisa lagi melihat matahari terbit dan terbenam. Bagaimana bisa? kalau ia sementara terbenam dalam rumahnya. Eryn hanya bisa berjalan jika dibantu oleh seseorang, dan orang yang setia membantunya adalah, ibu Tia, orangtua yang selama ini mengasuhnya.
Hari-harinya sungguh kesepian, ia tak punya siapa-siapa. Ia hanya ditemani angin, dan alam yang senantiasa menghiburnya dengan alunan musiknya, berupa bunyi pepohonan saat berbenturan ketika ditiup angin dan kicauan burung-burung. Lalu pada malam hari alunan musik akustik yang setia menemaninya melewati kesunyian gelap di atas ranjangnya. Ia seperti hidup sendiri di dunia. Dalam hening ia merasakan gravitasi bumi, pikirannya pun ikut melayang membayangkan masa lalunya yang begitu indah daripada sekarang ia merasa berada dalam lembah hitam atau bagai terkurung dalam jeruji besi.
Suatu siang Eryn mohon kepada ibu Tia untuk menemaninya berjalan kaki. Mereka berjalan menyusuri kota. Walaupun Eryn tak dapat melihat, ia tetap bahagia karena ia berhasil membebaskan pikiran dan perasaannya yang sedang tercekam. Ia dapat merasakan langsung hiruk pikuk dan keriuhan perkotaan. Saat senja mulai terlihat, sang surya pun merangkak pulang ke berandanya. Mereka juga kembali ke rumah dan melewati hari yang begitu indah baginya. Ketika ia mengingat saat-saat dimana ia bebas bergerak dan menyaksikan keindahan alam, hatinya sangat perih tapi dengan tegar ia menutupinya berupa senyum di bibirnya. Kisah mereka sekeluarga saat bepergian bersama, bercanda bersama semua kini telah menjadi histori dan kenangan baginya.
Di kamarnya ia duduk di depan jendela yang sedang terbuka, tapi mirisnya ia tak dapat melihat keindahan pemandangan alam. Dalam kesunyian itu ia dihibur dengan alunan musik akustik Lauren Daigle yang berjudul How Great Thou Art (Betapa besar seni Engkau). Seketika jiwanya terbias oleh melodi lagu itu. Ia dikuatkan dan disegarkan. Mungkin ia tak bisa melihat langit biru, maupun melihat ke luar masuknya matahari, tapi ia bahagia dapat merasakan keberadaan alam di sampingnya. Namun ada yang aneh dengan alam, ia mendengar jeritan alam bahkan ia merasakan keresahan alam. Dalam kesunyian ia mencoba menafsirkan jeritan itu. Tiba-tiba Sekonyong-sekonyong kekecewaan muncul membungkus pikirannya, membelenggunya, serta-merta ia berteriak histeris, tak ada yang mendengarkannya, tapi setidaknya ia telah melepaskan gumpalan emosi dari benaknya.
Masalah terbesar dalam dirinya adalah melawan dirinya sendiri. Menerima keadaannya dan bersyukur pada Tuhan atas kehidupannya yang ia peroleh. Ia harus menerima bahwa suka dan duka itu selalu berjalan beriringan dan siapa pun kita, kita tak pernah tahu apa yang lebih dahulu akan kita alami. Ini tentu bukan pilihannya, akan tetapi itu sekarang kenyataan yang harus dijalaninya. Aura percaya dirinya kembali datang menghampiri dan menghapuskan segala ketakutannya. Suara hatinya berkata. “Aku harus bangkit, sampai kapan aku akan terus bergantung pada Ibu Tia. Aku harus belajar berjalan sendiri bahkan kalau bisa aku harus berdikari (berdiri di atas kaki sendiri).” Bisikan hatinya itu memasok banyak energi, hingga membuat ia bangun dari tempat duduknya, lalu mencoba belajar berjalan sambil meraba-raba.
Padahal baru memulai, usahanya harus terhenti karena terantuk pada sebuah kursi yang berada di samping pintu keluar. Padahal sedikit lagi ia menginjak garis aman dan ke luar dari kepenatan itu. Ia jatuh terhempas, kepalanya membentur pintu. Akan tetapi semangatnya membakar jiwanya. Kemudian ia bangkit kembali dan akhirnya ia mendapatkan gagang pintu. Tinggal beberapa langkah saja ia akan menikmati kehangatan alam. Benar-benar merdeka saat ia menginjakkan kakinya di luar, merasakan hangatnya mentari. Ketika ia meneduhkan dirinya untuk menikmati simponi alam, sembari ia terkesiap karena kembali mendengar jeritan alam. Ia heran apa yang membuat alam menjerit, tapi ia sungguh-sungguh dengan jelas mendengar alam meratap. Ia teramat prihatin mendengar jeritan alam.
Lagu yang ia dengar adalah lagu keluh. Aku sangat setuju dengan Ebiet G. Ade, “Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita, coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.” Memang benar, walaupun aku tak bertanya tapi aku telah merasakan hawa kecekcokan alam dan manusia dewasa ini. Padahal alam juga memegang hidup kita dan kapan saja ia dapat menghentikan roda hidup kita. Sekarang aku ingin terus hidup, kemudian mensyukuri apa yang ada padaku dan bukannya mengharapkan sesuatu yang mustahil ku dapatkan. Aku tidak ingin hatiku gelap oleh karena perilakuku, bahkan aku tak enggan mengotori alam ini lagi dengan tingkah dan tuturku karena aku yakin Tuhan dapat memberiku kesempatan kedua untuk melihat rumput-rumput sedang bergoyang.
The End

Comments

Popular posts from this blog