1 Bunga Yang Layu (Part 1)






Cerpen Karangan: 

Lolos moderasi pada: 16 May 2016
Aku menangis sejadi-jadinya melihat belahan hatiku terbaring lemas di rumah sakit. Dia tidak pernah menceritakan penyakitnya itu kepadaku. Aku marah sekaligus tak tega melihatnya. Sore menjelang malam, hanya ada aku dan dia.
“Stadium 4! Kanker otak! Kenapa kau tidak bilang semuanya dari awal?” aku menangis seperti anak kecil yang masih cengeng.
Matanya sayup, tapi dia bisa tersenyum sedikit, “Maaf, sayang. Aku tidak ingin kau mengkhawatirkanku.”
Ku pegang tangannya yang dingin itu, lalu ku tempelkan ke pipiku yang penuh dengan air mata, “Berjanjilah denganku, mulai sekarang kau harus jujur.”
“Iya. Maafkan aku ya sayang.” Tangannya yang ku pegang perlahan-lahan menghapus air mataku.
Besoknya, sehabis pulang sekolah aku segera mungkin menuju kekasihku yang tak berdaya. Ku lihat dia menatap indahnya alam lewat kaca jendela, namun sayang tidak bisa merasakan indahnya alam. Aku ketuk pintunya, sontak dia langsung menoleh ke arahku. Senyumnya yang diberikan kepadaku membuat hatiku tenteram.
“Sayang lihat. Aku bawa apa?” aku memperlihatkan sebungkus kantong plastik.
“Wah! Apa itu?”
Aku mendekatinya dan duduk di samping. Lalu aku buka isi kantong plastik yang ku bawa, “Ini, spesial untuk kamu. Buah-buahan yang sangat segar.”
Dia terlihat sangat senang. Kesenangannya merupakan kebahagiaan di hatiku. Buah-buahan yang tadi aku beli, ku letakkan di piring.
“Kau mau makan buah apa?” tanyaku sembariku pegang tangannya.
“Terserah kamu saja, yang penting kamu ya suapin.” Katanya menggodaku.
Lalu aku mengupas buah apel. Aku memilih buah apel karena dia paling suka buah yang sangat lezat itu. Ku belah buah itu menjadi kecil agar dia bisa memakannya dengan enak dan aku suapi dia dengan perlahan. Kelihatan dia sangat menikmati apa yang aku beli sampai-sampai dia makan dengan tergesanya.
“Sayang, makannya yang pelan dong. Nanti kamu keselek.”
Dia masih makan dengan terburu-buru, “Habisnya ini enak sih sayang,” lalu betul apa yang aku bilang, akhirnya dia keselek juga.
Ohok! Ohok! Ohok!
Melihatnya keselek gitu, aku langsung mencari air dan menyerahkannya. Sifatnya yang suka ceroboh itu masih tak berubah walaupun dia tergeletak di atas kasur, tapi karena sifatnya itulah yang membuatku jatuh hati. Setelah dia minum, aku kembali lagi ingin menyuapinya. Tapi, dia menolak tidak ingin makan lagi.
“Tak mau lagi?”
“Dah kenyang,” Jawabnya sambil tertawa lebar.
Tidak ada yang aku lakukan selain duduk di sampingnya dan menatapnya dengan rasa sedih di hati. Rambutnya yang panjang nampak berantakan. Siapa yang tidak sedih melihat pacarnya sakit dan hanya bisa berbaring di ranjangnya rumah sakit. Aku membelai rambut pirangnya yang lurus nan lembut itu sedangkan dia menatap langit-langit. Entah apa yang dia pikirkan sekarang sampai waktu berselang agak lama.
“Sayang..”
Tak biasanya dia memanggilku dengan sesingkat itu, biasanya hal seperti ini ada yang ingin dia sampaikan. Pastinya ini penting.
“Iya, kenapa?”
“Kamu sayang kan sama aku?” katanya seraya menoleh kepadaku.
“Pasti. Pasti itu sayang.”
“Bolehkah kau mengabulkan permohonanku?” Dia kembali lagi menatap langit-langit.
Jarang-jarangnya dia ingin meminta sesuatu kepadaku. Tapi, aku tidak mau membuatnya sedih lantaran aku menolak, “Boleh sayang, boleh. Kamu mau apa?”
Tatapannya dingin menghadap ke atas seperti tadi, tidak ada kata yang dia keluarkan sampai bermenit-menit.
“Android. Aku mau kau membelikanku sebuah Android yang baru.”
Pupilku membesar kaget mendengar jawaban darinya. Sebuah Android. Itu tidak murah sama sekali. Bahkan barang secanggih itu aku tidak miliki. Matanya masih dingin, tapi hatiku tak tentu arah. Kalau aku tidak mengabulkannya, dia pasti akan sedih. Melihatnya seperti ini saja sudah membuatku sedih tak terhitung. Kalau aku mengiyakannya, pastinya diriku ini tidak mempunyai uang sebanyak itu.
“Sayang.. bukannya aku tak mau, tapi bisakah yang lain saja?” kataku lembut.
Mukanya terlihat kesal, Nampak olehku ketidaksenangannya, “Pokonya Android!”
“Tapi..”
“Kalau kamu tidak membelikanku itu, kita putus!” lalu dia berusaha untuk tidur.
Aku tidak tahu harus berbuat bagaimana lagi. Aku berusaha untuk merenungkan cara yang terbaik, sedangkan dia sudah terlelap menuju alam bawah sadar yang berupa kejadian-kejadian yang biasa diharapkan namun, sulit didapat atau sebaliknya.
“Apa yang harus ku perbuat?”
“Kalau aku jadi kau, aku putus saja.”
“Tidak!” aku mulai marah dengan apa yang diucapkannya, “Aku tidak akan pernah putus darinya. Kau tahu sendiri kan kalau aku sama dia itu sudah bersama-sama menghadapi suka dan duka.”
“Dasar keras kepala..” katanya dingin, “Lalu apa maumu sekarang?”
“Kalau aku tahu, tak mungkin aku datang padamu,” kataku kesal.
Kami berdua diam sejenak untuk memilih jalan paling benar, tiba-tiba terlintas di benakku jalan keluar. Mudah-mudahan apa yang aku pilih ini tepat.
“Said. Aku tahu harus gimana,” kataku dengan penuh semangat.
“Jadi apa?”
Aku terdiam sebentar. Lalu aku mulai berkata, “Aku akan menjual barang-barang yang aku punya.”
“Kau yakin?” perkataannya itu seperti hanya memastikanku saja.
“Yakin seyakin-yakinnya.”
Aku berdiri dari dudukku dan aku meminta tolong kepada salah satu sahabatku ini, Said untuk datang ke rumahku dan mengumpulkan apa-apa saja barang yang harus ku jual. Raut mukanya biasa, tingkahnya juga biasa. Tapi aku mengenalnya betul, walaupun seperti itu kepeduliannya luar biasa. Selama beberapa jam aku dan Said memilah-milah barang yang aku harus jual. Setelah terkumpul aku menjualnya lewat online. Supaya lebih cepat, aku juga menjualnya kepada orang-orang yang ku kenal. Hasilnya sangat mengagumkan, selama 3 hari hasilnya bisa untuk membeli apa yang pujaan hatiku inginkan. Setelah aku membelinya, aku langsung menuju ke rumah sakit dengan semangatnya. Aku berharap ini adalah obat bagi penyakitnya. Aku membuka pintunya, tapi aku langsung kaget karena aku melihat dirinya lagi memuntahkan ke luar isi perutnya di kantong plastik. Aku segera menghampirinya dengan perasaan khawatir.

“Muntahkan saja sampai kau merasa enakkan,” kataku seraya mengusap punggungnya.
Dia terus muntah sampai merasa puas. Setelah itu, aku membuang kantong itu dan menyodorkannya air. Sesudah diminumnya, aku juga memberinya minyak hangat supaya dia merasa lebih enak lagi. Mukanya lebih pucat dari 3 hari sebelumnya. Aku sengaja tidak menjenguknya selama beberapa hari karena aku sibuk untuk mengumpulkan uang. Semakin sakit hatiku melihat dirinya yang sekarang, bahkan aku rela mengganti posisi dirinya asalkan dia bahagia.
Dia merenung dengan muka yang sangat tidak sehat itu. Aku yang duduk di dekatnya juga merenung karena tidak rela dengan kenyataan ini. Aku tersadar ketika dia menarik bajuku. Aku sontak menoleh ke arah dirinya. Mukanya dibanjiri dengan air yang penuh dengan kesedihan, tangannya entah mengapa bergetar dengan kuatnya. Karena dirinya, mataku juga mengeluarkan air yang semakin lama semakin mengalir dengan derasnya dan ditambah hatiku yang sudah terasa seperti tersayat-sayat.
Bersambung
Cerpen Karangan: M. Fauzan Delfani

Comments

Popular posts from this blog