About Me And My Write World






Cerpen Karangan: 

Lolos moderasi pada: 9 May 2016
Inilah aku, Zalfa Nurima, penulis berusia 13 tahun yang sedang dicengkeram oleh kebingungan tentang duniaku sendiri. Dunia apa lagi jika tidak yang satu ini? Ya dunia menulisku yang entah ku dapat dari mana. Ku kisahkan 1001 cerita tentang duniaku. Dunia yang membawaku dalam ujung pisau adrenalin hidupku. Dalam kisah ini ku ceritakan pada kalian tentang kesendirianku dalam dunia yang banyak dibenci orang.
Hari ini, entah hari apa yang dapat ku gambarkan, hari yang menurutku menjadi gudang suasana hatiku. Hari ini aku senang, senang karena berbagai lomba diamanahkan padaku. Aku memang bahagia, tapi bahagia bukan seluruhnya. Temanku membenciku hari ini. Sebelumnya akan ku ceritakan pada kalian. Tentang dunia yang tak lagi peduli padaku, tentang sahabat yang menjauh dariku, tentang diriku yang selalu sendiri. Aku membencinya, sebagaimana bencinya mereka padaku. Aku benci, benci pada dunia yang tak pernah mendukungku.
Dunia yang selalu memberi berbagai cobaan dalam kehidupan ini, juga temanku yang mulai menjauhiku, setelah aku berkecimpung ke dalamnya. Karena itu semua aku menjadi sendiri, sendiri tanpa kawan. Hanya secarik kertas dan tinta hitam yang tetap setia padaku. Hari ini, guru kesayanganku datang menghampiriku. Menginformasikan padaku tentang lomba-lomba itu. Semua beliau serahkan padaku. Dari lomba menulis puisi dalam rangka HUT- kabupatenku hingga lomba menulis cerpen dan artikel. Kecemburuan dan kebencian mulai muncul di hati kawan-kawanku.
Hari ini, tepatnya pada jam ini. Aku dibawa olehnya, guruku ke dalam ruang spesial bagi para siswa, ya ruang pembelajaran. Diberikannya waktu berjam-jam untukku. Di ruangan ini, aku duduk dan menulis. Hembusan angin mengalun lembut dari AC yang menyapu lembut kulit cokelatku. Tak butuh waktu lama untukku menulis puisi itu. Cukup 20 menit waktu yang ku butuhkan. “Bagus Zalfa, sekarang salinlah dalam kertas berwarna ini! Kalau sudah selesai bisa kau tempelkan karyamu yang bagus ini ke dalam majalah dinding kelasmu!” ujar guru kesayanganku itu. Tanpa disuruh yang kedua kalinya, ku salin puisi itu dalam sehelai kertas berwarna. Aku sedikit ragu tentang perintah terakhrnya. Tentang karyaku dan majalah dinding. Ini akan menimbulkan masalah besar.
Date: Monday,21 dec 2016
“Dear Zalfa. Cil, hari ini entah suasana apa yang ada di hatiku, hari ini aku bahagia, tapi aku juga menyimpan rasa takut akan kebencian temanku. Ku pajang hasil karyaku di majalah dinding, bukan, bukan aku yang inginkan, tapi guruku Cil. Aku takut teman–temanku akan tahu itu, aku yakin mereka akan memusnahkan itu. Mereka juga akan menghardikku habis-habisan. Tuhan tolong aku. Zalfa Nurima.” Ku tuliskan ini pada diaryku. Sebagai pertanda kekhawatiranku pada karyaku sendiri. Ya semua pengalaman dan suasana hati selalu ku tumpahkan ke dalamnya, Cilla tentunya, nama diaryku.
Benar saja, dua hari dari peristiwa itu benar-benar terjadi. Dua hari itu mendebarkan, dua hari itu aku selamat. Tapi kini di hari yang ketiga dari karyaku yang tertempel di sana menarik sebuah masalah dan kebencian darinya. Saat salah seorang dari temanku itu melihatnya, sebuah karya yang tertulis rapi dalam secarik kertas berwarna.
“Apa ini? Sepertinya salah alamat. Temen-temen ke sini!” ujar Ala sambil menunjuk kertas itu. Dia memanggil teman lainnya untuk menengok.
“Wah.. wah.. wah.. sudah berani ya tempel karya seenaknya? Aduh ini itu apa? Karya yang buruk. Ala buat saja pesawat mainan dari itu! Sepertinya seru jika diterbangkan bersama,” ujar Fasya yang marah padaku.
Aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku hanya bisa menunduk dan meneteskan butiran air dari kelopak mata. Ala dengan sigap menarik kertas itu, lalu dibuatnya pesawat mainan darinya. Fasya menyambarnya dari tangan Ala. “Hei kamu Zalfa. Menghadaplah ke sini! Lihat! Akan ku buat karyamu semakin bagus,” dia berujar padaku. Aku tetap tak mau. Diangkatnya kepalaku dengan kasar dan memaksa. Aku benci dengan perlakuannya. Dia siap menarbangkan pesawat itu. Dan.. “Satu, dua, tiiiiga..” ujarnya sambil menerbangkan pesawat itu dengan tawanya yang terbahak-bahak.
Pesawat itu terbang dengan cekatan. Tak lama pesawat tersebut masuk ke dalam tempat sampah. Tepat, tepat sekali apa yang dia lempar. Dia melemparnya tanpa dosa. Dia melemparkannya dengan tepat. Hingga masuk ke dalamnya, sampah. “Sekarang dengar! Kamu bisa mendengar kan? Sekarang dengarkan aku! Tak akan bisa kau lakukan itu lagi. Kamu itu apa? Kamu hanya anak kecil di sini, kamu hanya angin di sini, kamu tak pantas mengikuti lomba itu. Kau tak pantas. Mengerti?” ujarnya padaku di depan kelas. Semua anak menyaksikanku. Menyaksikan tangisanku. Menyaksikan kemarahan temanku. Aku benci.
Mulai detik itu aku mengerti. Untuk menjadi seorang penulis bukanlah hal yang mudah. Dalam dunia penulisanku, aku pernah menangis, aku pernah tersenyum dan tertawa, aku pernah merasakan kebencian yang mendalam di hati ini. Segala adrenalin kepenulisanku sedikit demi sedikit mulai terbiasa bagiku. Aku sadar, tak semua orang menyukai menulis atau membaca karya orang lain. Banyak orang kata, seorang penulis punyai nasib buruk dalam hidupnya. Seperti halnya dalam cerita yang berisi argumen buruk tentang segala perjalanan hidup penulis. Ini aku, penulis yang merajut kehidupan dengan seorang sahabat. Ini sahabatku, sahabat yang ada padaku di kala aku senang dan sedih. Hanya dia yang mengerti aku. Dia memang bukan seorang penulis. Tapi aku menyayanginya. Aku menjadikannya sebagai tempat curahan hatiku. Dia juga merupakan seorang psikolog dan penasihat bagiku. Dialah Ara. Ara yang selalu sedia dengan siraman curhatanku.
Ini aku, aku yang mulai mengerti tentang duniaku. Kini ku teguhkan diriku untuk tetap setia dengan dunia kepenulisanku. Aku mulai memahami, bahwa setiap rintangan yang berhasil ku lalui merupakan wujud dari kabanggaanku menjadi seorang penulis. Aku masih berharap tentang kebaikan Tuhan yang akan memberiku kesuksesan besar nanti. Akan ku bangun dunia menulis yang lebih baik dari sekarang. Akan ku buat bahagia para penulis mendatang. Tuhan kabulkanlah itu semua. “Wujudkan mimpimu dengan satu kata mutiara yang akan memberimu motivasi dan semangat. Kalimat itu adalah aku bangga menjadi penulis.”
Cerpen Karangan: Zulva Nurima
Facebook: Zalfa Nurima
Zulva Nur Imawati, seorang penulis berkelahiran 10 januari 2003 ini, sudah banyak menyumbangkan karya tulisnya pada berbagai media. Hal ini dilakukannya untuk mengasah bakat dan hobbinya yang tak akan pernah pensiun dari kehidupannya. Ya, sastrawati adalah cita-cita utamanya saat ini penulis dapat dihubungi di: facebook: -Zalfa Nurima, -Hatsune Miku-Chan. Email: zulvaimawati[-at-]gmail.com





Ini merupakan cerita pendek karangan , kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya di:  untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatan penulis, jangan lupa juga untuk menandai Penulis cerpen Favoritmu di http://ceritapendekkam.blogspot.co.id/

Comments

Popular posts from this blog