1 Bunga Yang Layu (Part 3)
“Sudahlah kawan, ini hanya sebagian cobaan yang masih belum seberapa,” kata Said menenangkanku seraya memegang kedua pundakku.
Aku lepas tangannya tersebut dengan perasaan yang tidak bisa ku terima, “Kau bilang ini belum seberapa?! Lebih baik aku yang sakit menggantikannya kawan,” aku membalikkan badanku dan pergi menuju ke ruangan tadi. Aku masih percaya bahwa dia menunggu diriku. Dengan kerasnya dia melontarkan perkataan-perkataan kepadaku dari belakang, tapi aku masuk di telinga kanan keluar kiri. Yang lebih penting sekarang bukanlah Said, melainkan ialah orang yang berada di sana. Tunggulah aku wahai bidadariku.
Aku lepas tangannya tersebut dengan perasaan yang tidak bisa ku terima, “Kau bilang ini belum seberapa?! Lebih baik aku yang sakit menggantikannya kawan,” aku membalikkan badanku dan pergi menuju ke ruangan tadi. Aku masih percaya bahwa dia menunggu diriku. Dengan kerasnya dia melontarkan perkataan-perkataan kepadaku dari belakang, tapi aku masuk di telinga kanan keluar kiri. Yang lebih penting sekarang bukanlah Said, melainkan ialah orang yang berada di sana. Tunggulah aku wahai bidadariku.
“Dok! Kalian tidak bercanda kan?”
“Kami sudah berusaha sekuat mungkin, kami turut berduka, Pak.”
“Kami sudah berusaha sekuat mungkin, kami turut berduka, Pak.”
Mendengar itu, mataku langsung melotot besar, pikiranku menuju ke hal yang tidak ingin terjadi. Ibunya menangis di bangku duduk dengan tisu yang diletakkanya di hidungnya, ayahnya memukul dinding berulang kali dengan jidat yang diletakkannya di dinding itu juga, sedangkan dokter tadi pergi kembali masuk ke dalam. Entah kenapa aku memikirkan yang aneh-aneh karena mendengar pembicaraan mereka. Hatiku sakit, sakit sekali dan karena itulah aku kembali lagi menangis. Berbeda dengan yang dulu, yang ini lebih parah sakit yang ku derita di dalam hatiku ini bahkan aku tersandar di dinding dan perlahan-lahan aku mulai jatuh dari berdiriku. Aku menunduk sambil menahan rasa sakit ini, seseorang tiba-tiba memegang pundakku. Aku menolehnya, dia juga menunjukkan raut muka sedih kepadaku.
Lalu aku mulai bangkit berdiri dan pergi meninggalkannya lagi, dia membiarkanku pergi seperti dia tidak ingin mengejarku. Aku berjalan dengan rasa hampa. Orang-orang yang berada di rumah sakit melihatku dengan penuh keprihatinan, mungkin bagi mereka aku adalah orang yang sangat cengeng yang menangis di depan orang-orang. Menerima kenyataan seperti ini siapa yang tidak seperti orang yang sangat cengeng? Ya, memang aku adalah orang yang cengeng. Cengeng karena tidak bisa melihat tawa, sedih, marah, malu, dan hal-hal yang membuat hatiku bahagia.
Tanpa ku sadari, aku yang berjalan sedih tadi sudah melewati ruangan yang dulunya kekasihku di situ. Aku kembali lagi dan masuk ke ruangan itu. Ruangan yang sangat rapi dan harum. Lalu aku duduk di atas ranjang yang pacarku pernah terbaring tidur dengan rasa kesakitannya. Aku memegang bantal di situ dan aku cium bantal itu. Harum, harumnya sama mengingatkanku kepadanya. Bau rambutnya yang lurus itu, bau kenangan yang sudah kami lalui, bau kepergiannya yang meninggalkanku. Maafkan aku sayang, karena aku bantalmu ini ternodai dengan air mataku. Maafkanku aku sayang, karena aku tidak sempat membuatmu senang di saat terakhirmu dan maafkan aku sayang, karena aku adalah lelaki yang tidak bisa bisa menepati janjiku di saat kau membutuhkan seseorang yang bisa membuatmu tidak merasa kesepian lagi.
Tak puas aku mencium bantalnya, aku juga mencium ranjangnya tersebut. Tak puas aku aku mencium ranjangnya, aku berbaring di situ. Hangat, kehangatannya sama dengan kehangatan yang pernah dia berikanku kepadaku. Kehangatan yang aku perlukan di saat aku merasa sedih, kehangatan yang dia berikan di saat dirinya rindu, dan kehangatan yang kami lakukan untuk menandakan bahwa kami saling mencintai. Seketika di saat aku merasakan keberadaannya, meskipun dia tidak ada, aku melihat sepucuk surat yang terletak di depan mukaku. Surat tersembunyi di bawah bantal harumnya. Aku ambil surat itu dan aku membacanya.
“Kekasihku, Rangga Pratama. Hai sayang. Kalau kamu lagi baca surat ini kemungkinan aku sudah tidak ada untuk bersamamu lagi. Jangan nangis dong bacanya, masa iya jagoanku nangis saat baca ini. Dasar cengeng! Kamu ini, sayang. Kamu ingat saat kita masih kecil dulu. Saat kamu mau ngelamar aku pakai cincin mainan yang kamu temukan di jalan. Ah, kamu pasti lupa kan. Saat itu kamu bilang ke aku kalau kamu ingin membahagiakan aku dan ingin membuatku selalu tersenyum. Jujur saat itu aku masih tidak percaya dengan omonganmu. Tapi, kamu selalu membuktikan bahwa dirimu selalu ada untukku. Kita selalu bermain bersama-sama, salah satunya yang paling aku ingat betul adalah saat kita main rumah-rumahan. Waktu itu kamu jadi suaminya dan aku jadi istrinya, serta boneka yang aku punya menjadi anak kita.”
“Saat kita SMP, kamu nembak aku di depan kelas. Aku terharu sekali saat kau melakukan itu, kamu adalah orang yang pemberani yang pernah ku kenal. Kita sudah menjalani hubungan dan melewati masa-masa suka dan duka. Tak jarang kita selalu berantem karena hal sepele. Kalau aku ingat-ingat masa itu, kadang-kadang aku tertawa tak habis pikir. Keras kepala, egois, kadang-kadang cuek, kadang-kadang pemarah, tapi itulah kamu. Orang yang paling aku sayangi. Maaf ya karena sudah tidak memberitahukan penyakitku ini. Sebenarnya aku mengidap kanker otak sudah lama sekali. Dari stadium yang paling ringan sampai yang paling ganas sekarang. Aku tidak ingin membuatmu khawatir kalau aku memberitahumu dulu, kamu pasti akan menyuruhku istirahat di rumah saja. Padahal kan aku ingin selalu bersamamu setiap harinya.”
“Maaf juga ya sayang karena selama ini aku sudah menyusahkanmu. Apalagi masalah Android itu, aku yakin dan percaya bahwa kamu mendapatkannya dengan usaha yang sangat keras. Tapi, aku melakukan ini untuk kebaikanmu juga. Android itu sebenarnya bukan untuk diriku, namun untuk dirimu. Kamu kan orangnya suka pelupa, makan selalu tidak teratur, bangun selalu terlambat, ditambah aku juga kasihan melihat dirimu yang selalu tidak mengikuti zaman modern ini. Yang lainnya bahkan diriku punya, masa kamu tidak. Tapi yang paling penting Android itu untuk selalu mengingatkanmu. Aku sudah mengatur alarm di situ, ditambah foto-foto diriku seorang di sana. Jadi, kalau kau rindu dengan diriku kamu bisa melihat foto-foto diriku. Setiap hari aku selalu mengingatkanmu untuk makan, membangunkanmu. Sekarang aku tidak bisa lagi, sebagai penggantiku adalah Android itu.”
“Oh, iya aku sempat lupa. Di bawah ranjang ini, ada sebuah buku dan 2 bunga mawar, Androidnya juga ada di sana. Buku itu adalah album yang berisi foto kita berdua dari kecil. Dan 2 bunga mawar itu aku ikat bersamaan dengan buku itu. Aku berharap bunga itu melambangkan bahwa kita akan selalu bersama, walaupun aku sudah tak ada lagi. Kamu pasti masih nangis kan saat baca ini. Ayo dong! Aku tidak ingin kamu menangis karena diriku. Aku akan selalu berdoa kelak kamu akan mendapatkan jodoh yang lebih baik dariku. Terima kasih dan maafkan aku ya? Kekasihmu, Sora Francesca.”
Aku langsung melihat apa yang ada di bawah ranjang. Aku ambil 2 barang itu, bunga terikat oleh buku album dan Android. Aku berjanji akan selalu menjaga semua ini. Aku berjanji. Ketika aku lagi mengingat-ngingat kenanganku bersamanya melalui barang-barang yang aku pegang ini, aku mendengar suara ketukan pintu yang lumayan keras. Aku menoleh ke suara itu, senyumnya seperti memberikan semangat baru untukku. Berdiri dengan gagahnya menunggu diriku terlepas dari masa lalu. Aku melangkah ke luar dari menuju dirinya, tatapannya masih menunjukkan rasa kesedihan. Dia menepuk pundakku dan mengangguk kepadaku lalu dia tersenyum kecil, sungguh dia adalah kawan yang terbaik.
Cerpen Karangan: M. Fauzan Delfani
Facebook: Muhammad Fauzan Delfani
Facebook: Muhammad Fauzan Delfani
Comments
Post a Comment